KASTRAD THINK : NASIB BURUH DI TENGAH WABAH COVID 19 – BEM KM – UTM 2021

“Tiga tuntutan buruh yakni tolak Omnibus Law, stop pemutusan hubungan kerja (PHK), dan liburkan buruh dengan upah serta THR 100 persen.”

Pada pertengahan tahun 2019, masalah terhadap buruh terjadi dengan revisi UU Ketenagakerjaan yang di nilai lebih menguntungkan para pemodal. Belum tuntas mengusut persoalan ini, narasi mengenai Omnibus Law muncul di awal periode kedua pemerintahan Joko Widodo. Omnibus Law atau aturan sapu jagat ini merevisi puluhan UU dengan tujuan untuk mempercepat investasi. Sayangnya, Omnibus Law ini malah mempreteli hak-hak buruh sebagai tenaga kerja, yaitu:

  1. Prosedur PHK yang di permudah.
  2. Ketidakpastian hubungan kerja.
  3. Jam kerja yang di perpanjang.
  4. Penghapusan upah buruh saat sakit atau berhalangan hadir.
  5. Penghapusan cuti panjang.
  6. Penghilangan UMP.
  7. Besaran pesangon PHK yang semakin kecil.

Hal ini yang membuat serikat buruh menolak UU CILAKA tersebut. Pada kondisi saat ini, dimana maraknya penyebaran Covid-19 membuat pemerintah memberikan kebijakan bekerja dari rumah (WFH) sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Lalu bagaimana nasib buruh pada masa pandemi ini?

Pandemi Covid-19 berdampak buruk bagi sektor ekonomi dan ketenagakerjaan, terutama bagi buruh. Wabah ini mengakibatkan sebagian besar pekerja dirumahkan dan sebagian lagi harus tetap pergi ke tempat kerja karena sejumlah industri vital dan manufaktur harus tetap beroperasi. Hal ini menyebabkan para buruh rentan terjangkit virus karena mereka tidak dilengkapi dengan alat keselamatan yang tepat. Namun ada pula perusahaan yang tetap beroperasi yang tidak termasuk kategori industri vital harus beroperasi menolak para buruhnya di rumahkan.

Dampaknya jika dirumahkan Banyak konsekuensi pahit yang harus di rasakan oleh buruh akibat keputusan manajemen perusahaan untuk menyelamatkan perusahaan untuk tidak gulung tikar yakni pemotongan upah, peniadaan THR dan yang lebih parah yaitu pemberlakuan PHK. Data dari Kemenaker menyebutkan sekitar 2 juta buruh kehilangan pekerjaannya dimasa pandemi ini. Hingga saat ini pemerintah Indonesia belum menemukan kebijakan yang dapat mengatasi PHK masal ini yang dapat menengahi kepentingan antara perusahaan dengan buruhnya. Ditengah pandemi ini dibutuhkan kebijakan yang membuat perusahaan tidak gulung tikar dan buruh tetap mendapatkan penghidupan yang layak.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *